Senin, 13 Oktober 2008

PENDIDIKAN BERORIENTASI WIRAUSAHA

Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap dan perilaku kewirausahaan sasaran didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Dari lain, secara historis masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi dari penjajah Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat. Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakat, memiliki persepsi yang sama terhadap harapan ouput pendidikan. Orang jawa bilang “koyo tumbu oleh tutup”.
Berbeda dengan di negara maju, misalkan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat bahwa sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan kejuruan (Schrag dan Poland, 1987). Pendidikan kejuruan yang dikembangkan diarahkan pada usaha memperbaiki posisi Amerika dalam persaingan ekonomi dan militer. Pendidikan kejuruan khususnya yang berkenaan dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat dilakukan pada setiap level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar; Sekolah Menengah; maupun di perguruan tinggi. Pendidikan bisnis di Amerika meliputi, pendidikan pekerja kantor, distribusi dan pemasaran, dan pemahaman ilmu ekonomi.
Lebih lanjut Scharg dan Poland (1987), mengatakan bahwa pendidikan Bisnis menyiapkan siswa untuk masuk dalam pekerjaan bisnis secara mahir, yang sama pentingnya, menyiapkan siswa untuk memimpin persaingan binis yang mereka miliki, dan sebagai konsumer yang pandai serta sebagai warga negara yang pandai dalam ilmu ekonomi bisnis. Dari batasan batasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan bisnis di Amerika di arahkan kepada: 1) menyiapkan siswa sebagai pekerja yang cakap dalam dunia bisnis; 2) menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis yang handal; 3) meneyiapkan siswanya sebagai konsumen yang rasional; 4) mengusahakan siswanya untuk menguasai ilmu ekonomi bisnis. Dalam kaitannya dengan menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis, tidak lepas dengan penciptaan wirausahawan.
Schumpeter, sebagaimana dikutip Bygrave (1996) dalam Entrepreneurship, mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedang Drucker (1996), mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa seorang entrepeneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun suatu organisasi. Sebagai suatu proses kewirausahaan menyangkut segala fungsi, aktivitas, dan tidakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi untuk mengejarnya (Bygrave, 1996). Karena itu, jika pendidikan binis memiliki misi melaksanakan pendidikan wirausahawan, maka sudah selayaknya kurikulum dan stretegi pembelajarannya mengalami perubahan dan penyesuaian. Melihat karakter wirausahawan di atas, kelihatannya sulit pembentukan wirausahawan tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap mempergunakan strategi yang boleh dikata “klasik”.
Menurut Scharg et. al. (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Meskipun jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir sebagai bakat, namun jika tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, mungkin laksana pisau yang tumpul. Untuk mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu ditumbuh-kembangkan memalui proses belajar dan pembelajaran. Di sinilah letak dan pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan bisnis.
Terlepas dari tersebut di atas, sebenarnya sejak awal abad 19 Schumpeter (Budiono, 1999; Jinghan, 1999; Todaro, 1997) dalam teori pertumbuhan ekonominya telah mengatakan, bahwa di samping stok kapital dan teknologi telah membawa pertumbuhan ekonomi, satu hal lain yang tidak kalah penting adalah wirausahawan. Ia berpendapat, bahwa di dunia telah muncul pioner-pioner pertumbuhan ekonomi, yang dengan keahlian dan kreativitasnya pertumbuhan ekonomi telah berkembang, yakni wirausahawan. Banyak bermunculan wirausahawan kelas dunia telah lahir, yang dapat melakukan perubahan tatanan perekonomian dunia. Selanjutnya ia berpendapat bahwa di negara sedang berkembang umumnya kekurangan tenaga wirausahawan (Jinghan, 1999; Todaro 1997).
Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.
Sejalan dengan kurangnya wirausahawan di negara kita, pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menemukan model hipotetis yang mungkin dapat diterapkan pada program pendidikan bisnis melalui pembelajaran yang menumbuhkan sekaligus mengembangkan sikap positif terhadap wirausahawan, dengan harapan bahwa di kemudian hari banyak tumbuh wirausahawan baru yang dapat mendukung program pembangunan ekonomi di Indonesia. Dengan catatan, bahwa kebijakan pemerintah diasumsikan dapat menunjang kebijakan pendidikan wirausahawan.