Minggu, 19 Oktober 2008

SIKAP DAN PERILAKU WIRAUSAHA

Banyak sosiolog dan psikolog memberi batasan bahwa sikap merupakan kecenderungan individu untuk merespon dengan cara yang khusus terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan sosial. Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000). Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa. Masih banyak lagi definisi sikap yang lain, sebenarnya agak berlainan, akan tetapi keragaman pengertian tersebut disebabkan oleh sudut pandang dari penulis yang berbeda. Namun demikian, jika dicermati hampir semua batasan sikap memiliki kesamaan padang, bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam dari manusia. Keadaan internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana pendapat Piaget’s tentang proses perkembangan kognitif manusia (Wadworth, 1971). Keyakinan diri inilah yang mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan.

Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan. Oleh karena itu, psikolog sosial, seperti Morgan dan King, Howard dan Kendler, serta Krech dkk., mengatakan bahwa antara sikap dan perilaku adalah konsisten. Apakah selalu bahwa sikap konsisten dengan perilaku? Seharusnya, sikap adalah konsisten dengan perilaku, akan tetapi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga sikap tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi adanya desonansi nilai.
Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang faktor hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir, yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua faktor secara bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan faktor lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun (Syah, 2002).
Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik, seharusnya mengetahui bakat yang ada pada sasaran didik, keinginan sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat sasaran didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.
Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa sistem pendidikan kita masih bersandar pada prinsip, teori, dan konsep behavioristik. Konsep dan teori terbut jika diaplikasikan dalam pendididikan kejuruan dan profesi, sudah tidak relevan lagi. Model pendidikan klasikal, seperti yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa pembangunan, seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat membutuhkan tenaga wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, manakala kita masih mempertahankan model pendidikan behavioristik, kami yakin bahwa tidak akan mampu menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku pembangunan ekonomi nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan model pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan. Terutama mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.


Komponen Sikap
Secara umum, dalam berbagai referensi, sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975; Krech dan Ballacy, 1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000). Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia1. Nilai - nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek.
Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antar komponen sikap dapat diperiksa pada gambar 1 di bawah. Pada gambar tersebut secara bersama-sama komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak menumbuhkan sikap individu. Dari manapun kita memulai dalam analisis sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan satu sistem. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah konsisten, sebagaimana yang dikemukan oleh Krech dan Ballacy, Morgan King, dan Howard.

Keterangan: komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan suatu kesatuan sistem, sehingga tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap pribadi

Sikap seseorang seharusnya konsisten dengan perilaku. Seandainya sikap tidak konsisten dengan perilaku, mungkin ada faktor dari luar diri manusia yang membuat sikap dan perilaku tidak konsisten. Faktor tersebut adalah sistem nilai yang berada di masyarakat, diantaranya norma, politik, budaya, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan. Seluruh masyarakat dan intansi terkait harus menunjang pelaksanaan pendidikan. Pendidikan haruslah diletakan pada kondisi dan situasi yang benar-benar kondusif bagi jalannya proses pendidikan. Dengan cara demikianlah, sebenarnya secara teoritis dan konseptual, tujuan pendidikan tercapai. Sebaliknya, jika masyarakat dan seluruh instansi politik dan pemerintahan tidak mernunjang, maka pendidikan akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan merupakan tanggung jawab seluruh warga bangsa, dan harus ditunjang oleh komitmen politis dari seluruh warga bangsa-bangsa.

Keterangan: Ketiga komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak secara bersama- sama membentuk sikap. Sikap secara konsisten mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu, sikap seharusnya konsisten mempengaruhi perilaku.Jika antara sikap tidak konsisten dengan perilaku, maka terdapat sistem eksternal yang ikut mempengaruhi konsistensi antara sikap dan perilaku.

Sikap dapat pula diklasifikasikan menjadi sikap individu dan sikap sosial (Gerungan, 2000). Sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial, dan biasanya dinyatakan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Sedang sikap individu, adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh seseorang. Sikap seseorang pada akhirnya dapat membentuk sikap sosial, manakala ada seregaman sikap terhadap suatu obyek. Dalam konteks pemahasan ini, sikap yang dimaksud adalah sikap individual, mengingat pendidikan yang dihabahas dalam kajian ini menyangkut proses pendidikan secara individual, mengingat keinginan, kebutuhan, kemampuan, motivasi, sasaran didik sangat beragam. Untuk kajian lebih lanjut, periksa pada bahasan proses pendidikan bisnis di bawah.

Sejalan dengan pengertian sikap yang dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa: 1) sikap ditumbuhkan dan dipelajari sepanjang perkembangan orang yang bersangkutan dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu, 2) sikap merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar, 3) sikap selalu berhubungan dengan obyek, sehingga tidak berdiri sendiri, 4) sikap dapat berhubungan dengan satu obyek, tetapi dapat pula berhubungan dengan sederet obyek sejenis, 5) sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan atau emosi (Gerungan, 2000). Mengetahui karakter sikap semacam ini sangat penting manakala kita akan membahas sikap secara cermat. Dari sifat ini dapat diketahui bahwa sikap dapat ditumbungkan dan dikembangkan, melalui proses pembelajaran siswa yang sesuai dengan motivasi, dan keinginan mereka. Demikian juga, sikap harus diarahkan pada suatu obyek tertentu, sehingga memudahkan mengarahkan belajar siswa pada sasaran belajar yang sesuai dengan minat dan keinginannya.

Menumbuhkan dan Mengembangkan Sikap
Bagaiman sikap dapat ditumbuhkan? Seperti di atas dijelaskan, bahwa sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar. Dalam proses belajar tidak terlepas dari proses komunikasi dimana terjadi proses tranfer pengetahuan dan nilai. Jika sikap merupakan hasil belajar, maka kunci utama belajar sikap terletak pada proses kognisi dalam belajar siswa. Menurut Bloom, serendah apapun tingkatan proses kognisi siswa dapat mempengaruhi sikap (Munandar, 1999). Namun demikian, tingkatan kognisi yang rendah mungkin saja dapat mempengaruhi sikap, tetapi sangat lemah pengaruhnya dan sikap cenderung labil. Kami yakin, bahwa proses kognisi yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan sikap secara signifikan, sejalan dengan taksonomi kognisi Bloom, adalah pada taraf analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada taraf inilah memungkinkan sasaran didik memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat menumbuhkan keyakinan yang merupakan kunci utama untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap. Melalui proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, pengalaman, dan nilai ke dalam otak sasaran didik, seperti pendapat Pieget, pada gilirannya akan menjadi referensi dalam menanggapi obyek atau subyek di lingkungannya.

Pertanyaan yang muncul, apakah semua informasi dapat mempengaruhi sikap? Tidak semua informasi dapat mempengaruhi sikap. Informasi yang dapat mempengaruhi sikap sangat tergantung pada isi, sumber, dan media informasi yang bersangkutan (Morgan dan King, 1974; Howard, 1975). Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan dan mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif. Dalam pengertian, pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik, meskipun sebenarnya keyakinan tersebut akan didapat siswa sendiri melalui proses belajar. Seperti di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat memberikan pesan yang persuasif kepada sasaran didik haruslah dibawa pada obyek telaah melalui proses penganalisaan, pensintesisan, serta penilaian, yang dilakukan sasaran didik untuk memperoleh keyakinan. Langkah ini akan dapat berhasil manakala dilaksanaan secara individual, dan dibawa ke model belajar sambil bekerja yang selaras dengan motivasi, minat dan bakat sasaran didik. Dengan demikian, proses belajar-mengajar klasikal, misalkan dengan ceramah, efektivitas dalam menumbuhkan sikap perlu dipertanyakan.
Sumber informasi sangat berpengaruh pada penumbuhan sikap. Di samping informasi dari buku teks, mungkin juga dari fakta empirik, guru atau pendidik juga merupakan sumber belajar. Kualitas sumber informasi sangat berpengaruh pada penumbuhan keyakinan siswa. Karena itu kualitas informasi sangat menentukan perolehan pengalaman yang memandai, yang dibutuhkan untuk mengembangkan cakrawala pandang. Demikian juga fakta empirik, harus diberikan. Fakta empirik merupakan informasi sekaligus bahan belajar yang sangat berharga yang dapat dipelajari, dianalisis oleh siswa untuk memperoleh pengalaman dan untuk menambah keyakinan mereka. Di samping itu, guru juga memiliki peranan yang kuat dalam menumbuhkan sikap, karena gurulah yang berkomunikasi langsung dan sekaligus merupakan preferensi bagi siswa. Oleh karena itu, kualitas guru, baik dilihat dari kemampuan, keluasan wawasan, pengusaaan pengetahuan teoritis dan praktis diperlukan. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator, inovator, motivator, dapat dimainkan. Dengan demikian, dalam model belajar yang diharapkan di sini membutuhkan keragaman sumber informasi. Dengan sumber informasi yang beragam siswa dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan minat, motivasi, serta bakat mereka. Dengan cara inilah, siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan dan informasi yang akan mereka gunakan untuk penganalisaan situasi dan fakta untuk mendapatkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi hidupnya.

Selanjutnya, tentang media, bahwa tidak setiap media informasi dapat mempengaruhi sikap siswa. Karena itu adalah mutlak bagi guru untuk mencari buku teks maupun sejenisnya yang dapat mempengaruhi keyakinan siswa. Banyak buku teks yang isinya terlihat diam dan menjemukan. Tidak menumbuhkan gairah keingin tahuan, dan tidak dapat mempersuai pembaca. Isi buku teks hanyalah suatu onggokan konsep dan teori yang boleh dikata, kurang ada manfaatnya bagi hidup. Oleh karena itu, media informasi haruslah di cari oleh guru yang benar-benar bisa menumbuhkan gairah keingin tahuan siswa dan bersifat persuasif. Dengan demikian, di samping buku teks, media informasi lain harus dicari. Banyak buku-buku fiksi, biografi (misalkan cash-flow Quadrant, chicken shop, Business Combat), ceritera persaingan Pepsi-Colla dengan Coca-Colla, Raja Komputer AS Bill Gates, bagaimana perusahaan multinasional dapat mempengaruhi perekonomian dunia, dan sebagainya. Mungkin juga hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam internet, jurnal ilmiah, dan sebagainya dapat dimanfaatkan. Kreativitas guru dalam menumbuhkan keyakinanan siswa sehingga sikap dapat dibentuk seperti yang harapan siswa sangatlah dibutuhkan, terlebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan usaha untuk menumbuhkan motivasi dan keinginan yang kuat untuk berkembang, ulet, berani mengambil risiko, selalu mengansipasi perubahan, dan sebagainya. Orientasi guru tidak lagi berorientasi pada apa yang diharapkan guru, penumpukan konsep dan materi yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya bagi hidup, tetapi harus beorientasi pada apa yang siswa harapkan dan pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi hidup siswa pada masa mendatang. Dengan cara inilah kemungkinan besar pendidikan dapat membawa ouputnya yang benar-benar memiliki keunggulan, inovatif, jika terjun dalam dunia kerja.
Kapan Sikap Ditumbuhkan

Sikap dapat tumbuh selama manusia hidup. Sepanjang hidupnya, manusia belajar tidak pernah berhenti. Proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, dan pengalaman, berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam proses yang panjang inilah nilai-nilai hidup didapatkan oleh manusia, yang kemungkinan besar akan dapat menumbuhkan sikap mereka terhadap subyek atau obyek. Periode kritis penumbuhan seseorang terjadi pada usia 12 tahun sampai 30 tahun (Sear dalam Morgan dan King, 1974). Jika pendapat Sear ini dianut, maka penumbuhan sikap yang paling tepat ketika usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), setelah itu sikap akan tumbuh melalui belajar dan pengalaman pribadi masing-masing. Perlu dipahami, bahwa dalam hidup belajar lebih banyak ditentukan oleh diri sendiri dari pada di bangku sekolah. Namun demikian, sudah menjadi kewajiban bagi sekolah untuk menumbuhkan sikap dasar yang bermanfaat bagi hidup sasaran didik. Selanjutnya, di luar bangku sekolah, sikap akan dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Lebih lanjut Sear mengatakan, bahwa setelah usia 30 tahun sikap relatif permanen sehingga sulit berubah (dalam Morgan dan King, 1974). Dari sini terlihat betapa pentingnya peletakan sikap dasar di sekolah, mengingat bahwa usia pembentukan sikap dasar ketika siswa ada pada SLTP sampai dengan PT. Oleh karena itu, jika kita sadar akan tanggung sebagai pendidik, dan menyadari usia yang memungkinkan sikap dapat ditumbuhkan, maka sudah seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu tersebut untuk menumbuhkan sikap dasar siswa yang benar-benar ada manfaatnya bagi hidupnya maupun bagi bangsa dan negara.

Kendala Menumbuhkan Sikap

Kendala penumbuhan sikap terjadi ketika ada benturan nilai yang diyakini seseorang dengan nilai yang berkembang di masyarakat. Semua institusi dalam masyarakat harus dapat menunjang pendidikan. Artinya, masyarakat secara menyeluruh harus memberikan dukungan terhadap proses pendidikan bisnis. Akan tetapi, dalam kenyataannya, di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pendidikan bisnis mungkin mengalami hambatan sosio-budaya, seperti yang dikemukan oleh Jinghan (1999). Bahkan banyak ahli ekonomi yang mengatakan bahwa di negara sedang berkembang memiliki ciri yang mendua, di samping menganut faham ekonomi liberal juga menganut faham sosial (ekonomi campuran). Sifat mendua inilah yang merupakan kedala bagi kemajuan ekonomi negara dunia ketiga (Todaro, 1997; Jinghan, 1999). Mungkin sifat mendua inilah yang merupakan salah satu kendala bagi penumbuhan sikap wirausaha di Indonesia.
Nilai sosio-budaya feodal yang diwarisi dari penjajahan Belanda sangat kita rasakan pengaruhnya pada orang tua dan senior kita. Mereka sangat menyukai kemapanan dan alergi terhadap perubahan. Mereka lupa bahwa tanpa perubahan tidak akan ada perkembangan. Semuanya akan terlihat statis. Kondisi semacam ini telah diungkap oleh Todaro bahwa budaya dari penjajahan negara-negara Eropa sangat mempengaruhi pembangunan di negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia (Todaro, 1977). Keinginan orang tua agar anak menjadi pegawai negeri merupakan bukti konkrit bahwa budaya feodal yang merupakan warisan dari penjajah sebagai suatu kendala perkembangan bangsa kita. Mungkin saja anak memiliki jiwa dan sikap positif terhadap wirausaha, akan tetapi mungkin mengalami benturan nilai dengan orang tua, sehingga anak terpaksa menjadi pengawai negeri.

Read More......

Senin, 13 Oktober 2008

PENDIDIKAN BERORIENTASI WIRAUSAHA

Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap dan perilaku kewirausahaan sasaran didik, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Dari lain, secara historis masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi dari penjajah Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja, sebab dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh warga masyarakat. Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi pendidikan, maupun masyarakat, memiliki persepsi yang sama terhadap harapan ouput pendidikan. Orang jawa bilang “koyo tumbu oleh tutup”.
Berbeda dengan di negara maju, misalkan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat bahwa sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan kejuruan (Schrag dan Poland, 1987). Pendidikan kejuruan yang dikembangkan diarahkan pada usaha memperbaiki posisi Amerika dalam persaingan ekonomi dan militer. Pendidikan kejuruan khususnya yang berkenaan dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat dilakukan pada setiap level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar; Sekolah Menengah; maupun di perguruan tinggi. Pendidikan bisnis di Amerika meliputi, pendidikan pekerja kantor, distribusi dan pemasaran, dan pemahaman ilmu ekonomi.
Lebih lanjut Scharg dan Poland (1987), mengatakan bahwa pendidikan Bisnis menyiapkan siswa untuk masuk dalam pekerjaan bisnis secara mahir, yang sama pentingnya, menyiapkan siswa untuk memimpin persaingan binis yang mereka miliki, dan sebagai konsumer yang pandai serta sebagai warga negara yang pandai dalam ilmu ekonomi bisnis. Dari batasan batasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan bisnis di Amerika di arahkan kepada: 1) menyiapkan siswa sebagai pekerja yang cakap dalam dunia bisnis; 2) menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis yang handal; 3) meneyiapkan siswanya sebagai konsumen yang rasional; 4) mengusahakan siswanya untuk menguasai ilmu ekonomi bisnis. Dalam kaitannya dengan menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis, tidak lepas dengan penciptaan wirausahawan.
Schumpeter, sebagaimana dikutip Bygrave (1996) dalam Entrepreneurship, mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedang Drucker (1996), mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa seorang entrepeneur adalah pribadi yang mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun suatu organisasi. Sebagai suatu proses kewirausahaan menyangkut segala fungsi, aktivitas, dan tidakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi untuk mengejarnya (Bygrave, 1996). Karena itu, jika pendidikan binis memiliki misi melaksanakan pendidikan wirausahawan, maka sudah selayaknya kurikulum dan stretegi pembelajarannya mengalami perubahan dan penyesuaian. Melihat karakter wirausahawan di atas, kelihatannya sulit pembentukan wirausahawan tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap mempergunakan strategi yang boleh dikata “klasik”.
Menurut Scharg et. al. (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Meskipun jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir sebagai bakat, namun jika tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, mungkin laksana pisau yang tumpul. Untuk mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu ditumbuh-kembangkan memalui proses belajar dan pembelajaran. Di sinilah letak dan pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan bisnis.
Terlepas dari tersebut di atas, sebenarnya sejak awal abad 19 Schumpeter (Budiono, 1999; Jinghan, 1999; Todaro, 1997) dalam teori pertumbuhan ekonominya telah mengatakan, bahwa di samping stok kapital dan teknologi telah membawa pertumbuhan ekonomi, satu hal lain yang tidak kalah penting adalah wirausahawan. Ia berpendapat, bahwa di dunia telah muncul pioner-pioner pertumbuhan ekonomi, yang dengan keahlian dan kreativitasnya pertumbuhan ekonomi telah berkembang, yakni wirausahawan. Banyak bermunculan wirausahawan kelas dunia telah lahir, yang dapat melakukan perubahan tatanan perekonomian dunia. Selanjutnya ia berpendapat bahwa di negara sedang berkembang umumnya kekurangan tenaga wirausahawan (Jinghan, 1999; Todaro 1997).
Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi. Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu dapat terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat, misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.
Sejalan dengan kurangnya wirausahawan di negara kita, pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menemukan model hipotetis yang mungkin dapat diterapkan pada program pendidikan bisnis melalui pembelajaran yang menumbuhkan sekaligus mengembangkan sikap positif terhadap wirausahawan, dengan harapan bahwa di kemudian hari banyak tumbuh wirausahawan baru yang dapat mendukung program pembangunan ekonomi di Indonesia. Dengan catatan, bahwa kebijakan pemerintah diasumsikan dapat menunjang kebijakan pendidikan wirausahawan.

Read More......